Upluk... Upluk... Upluk...

“Upluk... upluk... upluk...”, terdengar suara air mendidih.
Aku masih terjebak dalam lamunan tak berarti, yang tak mungkin terjadi. Terkadang lamunan itu membuatku tertawa, tak jarang pula membuatku berteriak-teriak tak jelas arahnya. Sampai detik ini ku tak tahu mengapa diriku selalu begitu.
***
Kampungku memang cukup sepi. Sebuah kampung di tengah lautan dan tak pernah menjanjikan. Hampir semua kaum pria merantau ke seberang pulau. Di sini hanya tinggal menyisakan beberapa orang pria saja, dan konon akupun termasuk salah satu diantara mereka.
“Dasar tuh orang emang pemales, pelamun, kagak pernah mau kerja, tak tahu apa kalau bapaknya udah tua...”, celetuk salah seorang tetangga yang tentunya wanita.
“Nggak tahu tuh, dulu maksa-maksa disekolahin ke seberang pulau, sekarang udah lulus malah bisanya cuman melamun doang...”, timpal tetangga yang lain. “Katanya sich pinter waktu sekolah, kesambet jin kali...”, tambahnya.
***
“Upluk... upluk... upluk...”, air mendidih itu tinggal setengahnya.
Aku di sini, selalu di sini, menyendiri di depan api, memasak air meski tak pernah jadi. Aku bukan penderita autis yang tak pernah ingin jadi artis. Aku hanyalah anak kemarin pagi yang tak mampu melawan kerasnya ombak di pulau ini, ombak yang keluar dari mulut penduduk sini. Semua terasa memusuhi.
“Padahal dibanding penduduk sini dia sekolahnya paling tinggi, bisa nyampe SMA di seberang pulau sana”, ngerumpi pun terus berlanjut.
“Emang bocah gemblung, gak pernah nyadar kalau emaknya udah mati, bapaknya juga bentar lagi, emang dasar anaknya tak tahu diri”, yang lain pun ikutan membumbui.
Aku selalu ingin pergi dari pulau ini, namun bapakku tak pernah mengijini.
***
“Upluk... upluk... upluk...”, air mendidih itu tinggal sepertiganya.
Dulu aku memang pintar, namun segalanya kini telah memudar. Aku tak mampu meninggalkan ayahku yang ke mana-mana selalu ditandu. Kurasa memang percuma aku sekolah ke seberang pulau dan akhirnya hanya menjadi pengangguran yang agak sakau. Aku ingin seperti kakak kelasku yang bisa keliling dunia, tanpa mengeluarkan uang dari sakunya. Aku ingin menjadi wartawan yang bisa berkeliling menikmati indahnya ciptaan Tuhan.
“Dulu katanya mau jadi wartawan, jadi penulis, bikin buku. Kalau cuman mau bikin buku kan bisa kerja di pabrik pengolah buku, kayak anakku”, majelis ngerumpi belum berhenti.
Dasar ibu-ibu, tiap hari bisanya cuma begitu. Mereka tak tahu betapa tersiksanya diriku yang selalu menjerit-jerit di dalam kalbu.
***
“Upluk... upluk... upluk...”, air mendidih itu tinggal seperempatnya.
“Ih, ngapain sih ngomongin tuh anak, percuma, gak bakal mau berubah”, majelis ngerumpi berakhir.
Aku telah berjanji menemani dan merawat bapakku yang mulai sakit-sakitan. Aku ingin seperti seseorang di jaman Nabi Sulaiman as yang dapat hidup bukan di darat maupun di laut dengan nikmat yang amat sangat banyaknya hanya karena merawat ibunya yang sudah tua renta. Aku tak perlu bekerja jika itu membuat bapakku menderita. Sudah cukup derita bapakku saat kehilangan emakku.
***
“Upluk... upluk... upluk...”, air mendidih itu hampir habis.
Aku masih di sini dan tak akan pergi. Aku takkan pernah ke sana dan meninggalkan bapak tercinta.

Istana Ar-Roudloh, 26 Juli 2011
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Celoteh Gus Dur di Alam Barzah

Judul : Ngobrol dengan Gus Dur dari Alam Kubur
Penulis : Argawi Kandito
Penerbit : Pustaka Pesantren
Tahun : I, Agustus 2010
Tebal : xxvi + 178 halaman
Harga : Rp. 30.000,-

Sosok KH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur memang ‘gak ada matinya’. Tokoh yang memiliki nama kecil Abdurrahman Ad-Dakhil ini tak akan pernah selesai untuk diperbincangakan. Pemikiran, statement, dan gerak geriknya senantiasa orisinil sehingga merefresh wacana yang ada sebelumnya. Beliau adalah pemikir ulung yang tak gentar dicerca dan dikritik saat melontarkan pendapat yang berbau suprarasional dan kontroversial. Pemikirannya yang futuristik dan terkadang sulit dicerna, acapkali menjadi pro dan kontra di tengah masyarakat. Sampai-sampai pasca meninggalnya beliau, ternyata kehebohan malah semakin menjadi-jadi.
Merupakan sesuatu yang fenomenal mengingat kumpulan dialog yang tidak biasa antara orang biasa dengan tokoh yang luar biasa. Penulisnya, Argawi Kandito adalah seorang pemuda ‘kemarin sore’ yang dianugerahi kemampuan berinteraksi dengan para pendahulunya di alam kubur. Penulis sekaligus paranormal yang dijuluki Syaikh Pandrik ini mampu mengemas kumpulan dialog ini dalam bentuk buku yang fenomenal, sensasional, sekaligus kontroversial.
Buku terbitan Pustaka Pesantren ini menceritakan tentang perjalanan seorang Gus Dur dalam beradaptasi di alam kubur. Buku ini menyajikan dialog tentang pemikiran Gus Dur yang belum terungkap semasa hidupnya, rahasia Gus Dur dalam bertholabul ilmi, dan ‘tour’ alam kuburnya. Selain itu, dalam buku ini terdapat dialog tentang peristiwa yang baru terjadi pasca meninggalnya ‘Sang Maestro’.
Dikisahkan pertemuan beliau dengan auliya’, ulama’ dan tokoh-tokoh jaman dahulu bahkan Bung Karno dan Pak Harto, pembelaan beliau tentang kepresidenannya, proses kematiannya, tahlil, manaqib, pembakaran gereja di Malaysia hingga rencana kedatangan Obama ke Indonesia. Dalam buku ini, Gus Dur menuturkan proses kematiannya (hal. 145). Sebelum meninggal, beliau mendapat beberapa firasat. Diantaranya, didatangi oleh Hadlaratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, kakek beliau. Sang Eyang mengaku kangen dan meminta agar Gus Dur menengoknya di Jombang. Kejadian yang berasal dari mimpi itu terjadi sebelum beliau berziarah ke Jombang. Beliau juga menuturkan, saat proses pencabutan nyawa beliau ditemani oleh Mbah Hasyim, Mbah Mutamakin, dan malaikat Izrail tentunya.
Tak dapat dipungkiri, buku ketiga karya Syaikh Pandrik ini berhasil mengundang simpati dan kontroversi. Gaya bahasa Gus Dur sama sekali tidak berubah dari gaya bicaranya sewaktu masih hidup. Sehingga, kecenderungan mempercayai buku ini cukup tinggi dikarenakan tak sembarang orang mampu meniru gaya bicara, gaya bahasa, dan gaya jawab Gus Dur apalagi mengingat penulisnya yang masih hijau dari segi umur dan pengalaman. Buku ini mampu menjawab berbagai uneg-uneg Gus Dur baik semasa hidup maupun setelah meninggal. Selain itu, terdapat berbagai wasiat-wasiat Gus Dur bagi generasi penerus bangsa ini terutama generasi NU.
Namun, buku ini cenderung fasiq. Sebuah dialog alam kubur meskipun berupa kebenaran tetaplah menjadi suatu hal yang tabu untuk disebarluaskan. Sesuatu yang kurang proporsional mengingat orang hidup tak perlu ikut campur masalah orang mati kecuali via do’a ampunan baginya. Selain itu, menurut Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, orang yang masih hidup tidak dapat bertemu orang yang sudah meninggal kecuali jin yang menyerupai dirinya.
Oleh karena itu, diperlukan adanya rasa mawas diri untuk selalu menjadi pribadi yang al-muhafadhotu ‘ala al-qadimi ash-shalihi wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlahi.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

MENGENAL LEBIH DEKAT METODE BELAJAR PESANTREN

Pesantren, suatu kata yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia saat ini, khususnya bagi pemeluk agama Islam. Sedikit mengulas, pesantren merupakan sebagian dari banyaknya model lembaga pendidikan di Indonesia. Pesantren memiliki ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lain di Indonesia. Mungkin yang paling menjadi ciri khas –khususnya untuk pesantren yang masih salaf – adalah sarung, sandal jepit, kopyah (peci), kitab kuning, dsb.
Perlu diketahui bahwa pesantren adalah model pendidikan tertua di Indonesia yang bersifat boarding school. Pesantren sudah ada jauh sebelum Republik Indonesia berdiri, lebih tepatnya sebelum Bung Karno memproklamirkan kemerdekaan RI. Pesantren mulai dirintis sejak jaman Walisongo. Sosok yang telah berjasa dalam perintisan pesantren adalah Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) yang juga merupakan sesepuh Walisongo.
Pesantren ternyata tak hanya berkutat dengan kitab-kitab saja. Pada jaman kolonial Belanda dan Jepang, pesantren ikut andil dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia. Banyak kalangan ulama’ yang menjadi panglima-panglima perang pada jaman penjajahan, diantaranya Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo, Tuanku Imam Bonjol, Hadlaratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, dsb. Beliau-beliau inilah yang telah memimpin perjuangan bersama para santri berikut pengikutnya. Selain itu, pembelajaran di pesantren ternyata luput dari campur tangan pemerintahan kolonial Belanda. Kalau sekolah-sekolah umum pada saat itu sangat dibatasi oleh Belanda, maka metode pengajaran pesantren yang menggunakan bahasa arab menjadikan kaum penjajah kesulitan dalam mengawasi gerak-gerik pesantren sehingga kaum santri lebih leluasa menerima pengajaran dari gurunya.
Meskipun pada mulanya banyak pesantren dibangun sebagai pusat reproduksi spiritual, yakni tumbuh berdasarkan sistem-sistem nilai yang bersifat agama Islam, tetapi para pendukungnya tidak hanya semata-mata menanggulangi isi pendidikan agama saja. Pesantren bersama-sama dengan para muridnya atau dengan kelompoknya yang akrab mencoba melaksanakan gaya hidup yang menghubungkan kerja dan pendidikan serta membina lingkungan sekitarnya berdasarkan struktur budaya dan sosial. Karena itu pesantren mampu menyesuaikan diri dengan bentuk masyarakat yang amat berbeda maupun dengan kegiatan-kegiatan individu yang beraneka ragam. Peran pesantren telah lama diakui oleh masyarakat, terutama dalam bidang pendidikan.
Demikian halnya dengan madrasah dan sekolah Islam misalnya tentang peradaban dan kemajuan akhlak didikannya yang diharapkan menjadi penerus bangsa kelak. Kepiawaian pesantren dalam memformulakan pemahaman dan pemikirannya sehingga melahirkan kultur yang mengadabkan manusia adalah potensi riil pesantren.
Di era global kepiawaian, kultur, dan peran strategis itu harus menjadi lebih dimunculkan, atau dituntut untuk dilahirkan kembali. Pesantren, madrasah dan sekolah Islam mempunyai reputasi tersendiri sebagai lembaga yang bercirikan agama Islam, bahkan memiliki ciri khas yang membedakannya dengan lembaga pendidikan lain.
Pada intinya pesantren mempunyai peran sama dengan sekolah formal dalam perannya di bidang pendidikan. Namun yang membedakan dengan sekolah formal adalah pesantren mengajarkan ilmu dengan bungkus ajaran islam. Selain itu, pesantren difokuskan untuk mencetak seorang penerus bangsa dengan akhlak dan ajaran agama islam.
Dewasa ini pesantren mulai berbenah. Awalnya pesantren mulai dipandang sebelah mata dikarenakan masih dianggap kolot dan tidak sesuai dengan tantangan jaman. Namun, di kemudian hari mulai menjamur pesantren modern yang tak hanya mengajarkan tentang agama saja, melainkan seluruh aspek pendidikan, seperti pengetahuan umum, bahasa asing, teknologi, wirausaha, dsb. Dan hasilnya sangat luar biasa!
Ada beberapa hal penting yang merupakan strategi belajar kaum santri yang menjadikan mereka mampu mendidik masyarakat ketika telah ‘boyong’ dari pesantren. Diantara metode yang paling ampuh adalah metode sorogan, bandongan, musyawarah (diskusi), dan tirakat, selain secara autodidak tentunya.
Sorogan memang ampuh
Sorogan berasal dari kata sorog (bahasa jawa) yang berarti menyodorkan, sebab di sini setiap santri menyodorkan kitabnya di hadapan kyai atau penggantinya (badal, asisten kyai). Dalam konteks kekinian, sorogan biasa disebut dengan tutorial ataupun mentorship. Sistem sorogan ini termasuk belajar secara individual, dimana seorang santri berhadapan dengan seorang guru, dan terjadi interaksi saling mengenal diantara keduanya. Dengan sistem pengajaran secara sorogan ini memungkinkan hubungan kyai dengan santri sangat dekat, sebab kyai dapat mengenal kemampuan pribadi santri secara satu satu persatu. Kitab yang disorogkan kepada kyai oleh santri yang satu dengan santri yang lain tidak harus sama.
Sistem sorogan ini terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama bagi seorang murid yang memiliki keinginan luhur untuk menjadi ‘alim khususnya di bidang ilmu agama Islam. Sistem ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang santri dalam menguasai materi pembelajaran. Sorogan merupakan kegiatan pembelajaran bagi para santri yang lebih menitikberatkan pada pengembangan kemampuan perorangan (individual), yang tentunya tetap di bawah bimbingan seorang kyai atau ustadz. Pelaksanaannya, santri yang banyak itu datang bersama, kemudian mereka antri menunggu gilirannya masing-masing, sambil mempelajari materi yang akan disorogkan.
Cara belajar seperti ini memang terbukti cukup efektif. Dalam metode pembelajaran di pesantren, metode sorogan adalah metode yang paling sulit karena metode ini membutuhkan kesabaran, kerajinan dan disiplin pribadi dari setiap peserta didik, sehingga diperkirakan bagi para pemula yang belum memiliki pegangan ‘ilmu alat’ (nahwu dan sharaf) terlebih dahulu, maka kemungkinan besar akan mengalami kesulitan ketika melakukan persiapan sebelum materi disetorkan kepada kyai atau ustadz. Intinya, sebelum diterpkan metode sorogan, sebaiknya perlu dimatangkan dulu ‘ilmu alat’nya.
Saat ini, metode sorogan mulai diterapkan dalam pendidikan formal ketika para pelajar menempuh ujian terutama ujian lisan. Sehingga dapat dikatakan bahwa metode ini memang benar-benar ampuh untuk kedekatan antara si empunya ilmu dengan pelajar dan untuk mengetahui seberapa kemampuan si pelajar dalam menyerap ilmu-ilmu yang telah disampaikan di sekolah.
Wetonan yang masih dilestarikan
Istilah weton berasal dari kata wektu (bahasa jawa) yang berarti waktu, sebab pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan atau sesudah melakukan shalat fardu. Metode weton ini merupakan metode kuliah, di mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai yang menerangkan pelajaran, Santri menyimak kitab masing-masing dan membuat cacatan padanya. Istilah wetonan ini di Jawa Barat disebut dengan bandongan.
Tetapi sekarang ini banyak pesantren yang telah menggunakan metode pengajaran dengan memadukan antara model yang lama dengan model pengajaran yang modern yaitu dengan memadukan metode klasikal yang bertingkat.
Dalam pendidikan formal, khususnya untuk jenjang sekolah, metode ini masih sangat dilestarikan dan dipertahankan oleh para guru. Namun, ada sebagian guru yang mulai mempraktekkan metode halaqah/musyawarah (diskusi). Mengapa begitu? Ternyata ada beberapa kelemahan dari metode wetonan. Metode ini menuntut para guru untuk dapat mengemas materi sedemikian rupa, sehingga para siswa tidak gampang bosan ketika menerima pelajaran dari para guru mereka. Nah, mungkin kasus ini hanya terjadi pada pendidikan formal. Untuk pendidikan pesantren, siapapun pengajarnya, apapun materinya, yang penting sami’na wa atho’na .
Tak efektif tanpa musyawarah
Halaqah, sistem ini merupakan kelompok kelas dari sistem bandongan. Halaqah yang arti bahasanya lingkaran murid, atau sekelompok siswa yang belajar di bawah bimbingan seorang guru atau belajar bersama dalam satu tempat. Dalam kamus santri yang lain, halaqah sering disebut dengan musyawarah. Dalam istilah kaum akademis, halaqah disebut dengan diskusi atau dalam istilah ngetrennya disebut sharing. Metode ini dimaksudkan sebagai penyajian bahan pelajaran dengan cara murid atau santri membahasnya bersama-sama melalui tukar pendapat tentang suatu topik atau masalah tertentu yang ada dalam kitab kuning. Dalam metode ini, kiai atau guru bertindak sebagai moderator. Metode diskusi bertujuan agar murid atau santri aktif dalam belajar. Melalui metode ini, akan tumbuh dan berkembang pemikiran-pemikiran kritis, analitis, dan logis.
Metode ini bisa dibilang sangat ampuh karena santri dituntut untuk mampu mencurahkan segala pemikirannya agar pendapatnya dapat diterima oleh forum. Selain di pesantren, metode ini juga dipakai oleh kalangan akademis seperti mahasiswa dan pakar-pakar bidang keilmuan tertentu. Malah saat ini begitu menjamurnya forum diskusi di berbagai tempat dan media, sehingga dapat dikatakan metode ini telah diterima oleh masyarakat.
Bereksperimen via hafalan
Metode hafalan yang diterapkan di pesantren-pesantren, umumnya dipakai untuk menghafal kitab-kitab tertentu, misalnya Alfiyah Ibnu Malik. Metode hafalan juga sering diterapkan untuk pembelajaran al-Qur’an dan al-Hadits. Dalam pembelajaran al-Qur’an metode ini biasa disebut metode tahfidz al-Qur’an . Biasanya santri diberi tugas untuk menghafal beberapa bait dari kitab Alfiyah, dan setelah beberapa hari baru dibacakan atau disetorkan di depan kyai atau ustadnya. Dalam pengembangan metode hafalan atau tahfidz ini, pola penerapannya tidak hanya menekankan hafalan tekstual dengan berbagai variasinya, tetapi juga harus melibatkan atau menyentuh ranah yang lebih tinggi dari kemampuan belajar. Artinya, hafalan tidak saja merupakan kemampuan intelektual sebatas ingatan tetapi juga sampai kepada pemahaman, analisis, dan evaluasi. Bagaimanapun, hafalan sebagai metode pembelajaran maupun sebagai hasil belajar tidak dapat diremehkan, seperti yang sering terdengar dari pernyataan-pernyataan sumbang para pengamat pembelajaran. Hafalan harus dipandang sebagai basis untuk mencapai kemampuan intelektual yang lebih tinggi.
Banyak orang yang mengatakan bahwa menghafal itu mudah, yang susah itu menjaga hafalan. Statemen ini dapat dibenarkan dikarenakan begitu banyak orang yang mudah dalam menghafalkan sesuatu, namun beberapa hari bahkan beberapa jam kemudian sudah mulai ‘terjangkit gejala amnesia’. Oleh karena itu, dalam praktek hafalan perlu adanya istiqomah dalam menghafal dan melalar .
Berjuang dengan tirakat
Tirakat merupakan sebuah kelaziman bagi kalangan warga pesantren terutama pesantren salafiyyah. Tirakat sering disebut dengan riyadloh, yakni meninggalkan segala sesuatu yang dapat mengurangi kekhusyu’an dalam menuntut ilmu, seperti berpuasa selama beberapa tahun , puasa mutih , puasa nyireh , puasa ngrowot , sholat malam, dsb. Dengan adanya metode riyadloh/tirakat diharapkan agar santri dapat lebih mudah dalam menyerap materi. Selain itu, efek riyadloh/tirakat dapat berimbas pada nasib santri di masa mendatang (meski terkesan klenik). Barangsiapa yang lebih berani melakukan riyadloh/tirakat, maka dia akan memperoleh sesuatu yang lebih di masa mendatang. Dan barangsiapa yang kurang berani melaksanakan riyadloh/tirakat, maka penulis hanya dapat mengatakan wallahu a’lam.
Sebenarnya persoalan keberhasilan tirakat bukan sepenuhnya berasal dari apa yang ditirakati, namun lebih menekankan kepada sugesti dan kedisiplinan dan ketaatan para santri untuk tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh kyai.
Yang terbaru dari muqoronah
Metode muqoronah adalah sebuah metode yang terfokus pada kegiatan perbandingan, baik perbandingan materi, paham, metode, maupun perbandingan kitab. Metode ini akhirnya berkembang pada perbandingan ajaran-ajaran agama. Untuk perbandingan materi keagamaan yang biasanya berkembang di bangku Perguruan Tinggi Pondok Pesantren (Ma’had Ali) dikenal istilah Muqoronatul Adyan. Sedangkan perbandingan paham atau aliran dikenal dengan istilah Muqoronatul Madzahib (perbandingan madzhab).
Metode ini memang sangat cocok untuk dikembangkan di Perguruan Tinggi maupun Ma’had Aly, dikarenakan metode hanya dapat berjalan jika sudah pernah mengenyam metode sorogan, wetonan, dan musyawarah. Jadi, metode ini merupakan metode lanjutan dari metode-metode yang telah disebutkan di atas.
Autodidak: jurus pamungkas
Autodidak adalah metode belajar sendiri dengan membaca berbagai macam literatur. Tak semua orang dapat belajar secara autodidak dikarenakan metode belajar ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki IQ di atas rata-rata atau minimal sudah mencapai level tinggi.
Di kalangan kaum santri, belajar secara autodidak biasanya dilakukan oleh santri senior dengan berbagai macam pegangan ilmu yang sudah mumpuni. Jadi, autodidak dapat dikatakan sebagai tahap akhir dalam proses belajar.
Sebenarnya, belajar autodidak dapat dilakukan oleh semua orang dengan syarat tetap fokus, konsentrasi, dan selalu istiqomah dalam belajar. Banyak dari kalangan cendekiawan yang sudah membuktikan keampuhan metode ini. Bahkan, ada sebagian yang memiliki karakter unik dalam belajar secara autodidak. Seperti almarhum KH. Abdurrahman Wahid atau yang lebih akrab disapa dengan sebutan Gus Dur, ternyata beliau tak perlu membolak-balik seluruh isi buku untuk memperoleh pengetahuan baru, melainkan hanya cukup dengan membaca daftar isi suatu buku.
Tantangan pendidikan pesantren di masa depan
Jaman yang semakin modern menuntut pesantren untuk mulai berbenah agar masih diminati oleh masyarakat luas. Pesantren harus mampu menunjukkan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Pesantren juga harus mampu menjaga nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang telah diwariskan oleh ulama’ terdahulu, sambil tetap mengadopsi nilai-nilai dan ajaran-ajaran baru yang lebih baik dan tidak melenceng dari apa yang telah diwariskan, bukan malah terseret arus perkembangan jaman bahkan keluar dari koridor syari’at Islam.
Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa beberapa pesantren ada yang tetap berjalan meneruskan segala tradisi yang diwarisi secara turun temurun tanpa perubahan dan improvisasi yang berarti kecuali hanya sekedar bertahan. Namun ada juga pesantren yang mencoba mencari jalan sendiri dengan harapan mendapatkan hasil yang lebih baik dalam waktu yang singkat. Pesantren semacam ini adalah pesantren yang menyusun kurikulum berdasarkan pemikiran akan kebutuhan santri dan masyarakat sekitarnya.
Maka dari pada itu apapun motif perbincangan seputar dinamika pesantren memang harus diakui memiliki dampak yang sangat besar. Seperti contoh semakin dituntut dengan adanya teknologi yang canggih, pesantrenpun tak ketinggalan zaman untuk selalu mengimbangi tiap persoalan-persoalan yang terkait dengan pendidikan maupun sistem di dalam pendidikan itu sendiri, mulai dari sisi mengaji ke mengkaji. Itupun merupakan sebuah bukti konkrit di dalam pesantren itu sendiri bahwa pesantren telah mengalami perkembangan dan pertumbuhan, karena pesantren tak akan pernah menjadi statis selama dari tiap-tiap unsur pesantren tersebut bisa menyikapi dan merespon secara baik apa yang paling aktual.
Dahulu dalam bidang pendidikan, pesantren dapat dikatakan kalah bersaing dalam menawarkan suatu model pendidikan kompetitif yang mampu melahirkan output (santri) yang memiliki kompetensi dalam penguasaan ilmu sekaligus skill sehingga dapat menjadi bekal terjun ke dalam kehidupan sosial yang terus mengalami percepatan perubahan akibat modernisasi yang ditopang kecanggihan sains dan teknologi. Kegagalan pendidikan pesantren dalam melahirkan sumber daya santri yang memiliki kecakapan dalam bidang ilmu-ilmu keislaman dan penguasaan teknologi secara sinergis berimplikasi terhadap kemacetan potensi pesantren yang kapasitasnya sebagai salah satu agents of social change dalam berpartisipasi mendukung proses transformasi sosial bangsa.
Penutup
Betapapun pesantren berkembang dengan segala bentuknya masing-masing, namun upaya mempertahankan tradisi salafiyyah hendaklah terus dilakukan. Pengaruh globalisasi dan modernisasi yang merajalela hendaklah disikapi dengan bijak, karena tanpa adanya mawas diri dengan perkembangan yang ada dikhawatirkan akan melunturkan kemurnian prinsip pesantren sebagai lembaga pendidikan yang telah diwariskan oleh para Walisongo dan ulama’ terdahulu.
Pesantren yang ideal adalah pesantren yang mampu mengantisipasi adanya pendapat yang mengatakan bahwa alumni pondok pesantren tidak berkualitas. Oleh sebab itu, sasaran utama yang diperbaharui adalah mental, yakni mental manusia dibangun hendaknya diganti dengan mental membangun.
Maka dari itu, perlu adanya pemberdayaan sumber daya para santri sejak dini. Banyak kegiatan yang baik untuk selalu eksis mengikuti pesatnya arus perkembangan jaman. Jangan sampai ketika telah lulus, lulusan pesantren tidak mampu berbuat apa-apa di lingkungan masyarakat.
Semoga pesantren dapat selalu eksis mengajarkan pendidikan agama sampai akhir jaman dan mencetak lulusan yang berkualitas, berguna bagi agama, nusa, dan bangsa. Aamiin...


DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti, HA. 1986. Pondok Pesantren dalam Sistem Pendidikan Nasional. Surabaya: IAIN Sunan Ampel.
Ardi. Efektifitas Metode Sorogan Al-Qur’an Terhadap Motivasi Hafalan Santri Pondok Pesantren. Artikel diakses pada 10 Desember 2009 dari http://zumardi.blogspot.com/2009/12/efektifitas-metode-sorogan-al-quran.html.
Azizi, Ahmad Fakhri. Belajar Efektif Dengan Musyawarah. Majalah ATH-THULLAB edisi 13 tahun 2009 halaman 23. Artikel ini juga dapat diakses di www.ath-thullab.blogspot.com.
Dadang, Helmi. Makalah Regenerasi Pesantren untuk Kemajuan Umat. Artikel diakses pada 12 Maret 2010 dari http://helmidadang.wordpress.com/2010/03/12/makalah-regenerasi-pesantren-untuk-kemajaun-umat/.
Hasyim, Abdus Sami’, KH. Pesantren Tradisional di Tengah Tantangan Modernisasi. Artikel diakses pada 15 April 2010 dari http://penaseorangsantri.blogspot.com/2010/04/pesantren-tradisional-di-tengah.html.
Khofifi, Muhammad. Pola Pendidikan Santri pada Pondok Pesantren. Artikel diakses pada 17 Januari 2010 dari http://khofif.wordpress.com/2009/01/17/pola-pendidikan-santri-pada-pondok-pesantren/.
Masyhud, H.M. Sulthon dan Moh. Khusnuridlo. 2003. Manajemen Pondok Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka.
Rahmat. Pondok Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Islam. Artikel Diakses dari http://blog.re.or.id/pondok-pesantren-sebagai-lembaga-pendidikan-islam.htm.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

ISLAMISASI TEKNOLOGI

Tidak dapat dipungkiri pada saat ini manusia tidak bisa lepas dari yang namanya teknologi. Siapapun, kapanpun, dan di manapun semuanya sangat tergantung dengan teknologi.
Teknologi adalah pengembangan dan aplikasi dari alat, mesin, material dan proses yang menolong manusia menyelesaikan masalahnya. Sebagai aktivitas manusia, teknologi mulai dikenal sebelum sains dan teknik. Berbeda dengan ilmu pengetahuan yang merupakan input dari proses rekayasa, teknologi adalah hasil proses rekayasa dari ilmu pengetahuan.
Teknologi dibuat dengan tujuan mempermudah pekerjaan manusia, sehingga jika kenyataannya malah mempersulit, berarti tidak bisa disebut teknologi. Teknologi tidak hanya sekedar berupa penemuan saintifik namun juga termasuk di dalamnya penemuan-penemuan kuno seperti roda dan sebagainya.
Saat ini masyarakat dunia cenderung menganggap bahwa teknologi adalah hasil karya orang-orang Barat, padahal tidak sedikit orang Islam yang ikut andil dalam merintis bidang ini. Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman dari kesalahpahaman tersebut.
Sebagian besar teknologi dicetuskan muslim
Manusia dituntut untuk berbuat sesuatu dengan sarana teknologi. Sehingga tidak mengherankan jika abad ke-7 M telah banyak lahir pemikir Islam yang tangguh produktif dan inovatif dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kepeloporan dan keunggulan umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan sudah dimulai pada abad itu.
Jika diteliti secara mendalam, ayat-ayat Al Qur’an yang pertama kali turun ternyata mengandung unsur-unsur teknologi, selain didalamnya terdapat perintah untuk membaca tentunya. Pada masa-masa menjelang kenabian, kaum jahiliyyah mengalami kemunduran yang signifikan dalam bidang sains, teknologi, maupun intelektual sehingga turunnya Al Qur’an menjadikan kaum muslimin mengkaji dan mulai mengembangkan sains dan teknologi bersumber dari kalam ilahi. Sebagian dari hasil pengkajian dan penelitian tentang Al Qur’an diantaranya tentang cakrawala yang bergerak secara terapung , pergerakan bumi , dan atom adalah benda terkecil .
Berdasarkan dari kalam Allah tersebut, umat Islam mulai meneliti berbagai kemukjizatan Al Qur’an yang tak lekang oleh waktu dan senantiasa sesuai dengan perkembangan jaman. Menjelang pertengahan abad kesembilan, ilmu pengetahuan yang semakin berkembang membuktikan fakta bahwa sains yang dibawa Al Quran adalah benar dan ilmu dalam kitab itu mendahului zaman ketika ia diturunkan dan semakin mengukuhkan bahwa Al Qur’an adalah kalam Allah, bukan buatan manusia.
Kebenaran fakta al-Quran semakin meyakinkan dan pelbagai rahasia kitab suci itu terus digali sehingga kegemilangan sains terus disingkap dalam tamadun Islam menerusi perkembangan ilmu dan penciptaan teknologi. Kemudian muncul nama-nama besar ilmuwan dan saintis Islam seperti Ibnu Haitam (sains optik), Ibnu Yunus (penciptaan jam), Ibnu Nafis (sistem lengkap peredaran darah), Ibnu Sina (sains perubatan), al-Biruni (astronomi), al-Khawarizmi (matematika) dan Ibnu Rusyd (filsafat). Dan ternyata penemuan Ibnu Haitam mengenai hakikat gravitasi jauh lebih awal sebelum dijadikan teori oleh Isaac Newton.
Hal serupa juga ditemui pada konsep penerbangan seperti dijelaskan oleh Ibnu Firnas dan kemudian diadaptasi Wilbur Wright dan Oliver Wright. Ibnu Firnas juga sudah menjalankan kajian cakrawala kira-kira 600 tahun sebelum Leonardo da Vinci melakukannya.
Ironisnya, pengembangan ilmu dan kegemilangan peradaban Islam itu tidak dapat diteruskan, seolah-olah usaha itu seumpama api yang kehabisan minyak, semakin lama semakin meredup berbarengan ketika berakhirnya Kerajaan Abbasiyah. Berbagai maklumat dan penemuan penting juga dikatakan hilang ketika berlakunya Perang Salib.
Masyarakat Barat yang suatu ketika dulu turut menggali ilmu hasil cernaan cendekiawan muslim sebaliknya mulai mengambil alih peranan mengembangkan ilmu pengetahuan. Yang sangat disayangkan bahwa kemajuan-kemajuan itu tidak sempat ditindaklanjuti dengan sebaik-baiknya sehingga tanpa sadar umat Islam akhirnya melepaskan kepeloporannya. Lalu bangsa Barat dengan mudah mengambil dan menransfer ilmu dan teknologi yang dimiliki dunia Islam dan dengan mudah pula mereka berbuat licik yaitu membelenggu para pemikir Islam sehingga sampai saat ini bangsa Baratlah yang menjadi pelopor dan pengendali ilmu pengetahuan dan teknologi. Ironisnya, seolah-olah mereka mencoba menafikan kegemilangan cendekiawan muslim. Orang-orang Barat mengganti nama saintis Muslim dengan berbagai nama diantaranya Ibnu Sina kepada Avicenna, Al-Biruni (Alberuni), Al-Battani (Albetagnius), Ibnu Haitam (Alhazen), Al-Kindi (Alkindus) dan Ibnu Rusyd (Averroes). Sehingga kini, tidak mengherankan jika kajian dan pengembangan ilmu pengetahuan tidak lagi didominasi umat oleh Islam. Kegemilangan ilmu pada peradaban Islam kini sekedar mampu dikenang, ia sekedar mampu dibanggakan pencapaiannya.
Dengan pengaruh besar dan strategi yang cukup ‘licik’, manusia termasuk umat Islam kini lebih mengenali ilmuwan Barat dalam pelbagai bidang, Issac Newton lebih dikenali daripada Ibnu Haitam dan Wright bersaudara lebih dikenali daripada Ibnu Firnas.
Bagaimanapun, kegemilangan Islam menguasai ilmu senantiasa diabadikan. Saintis Islam, Dr. Fuat Sezgin menjejak, mengumpul dan mengembalikan khazanah ilmu hasil peradaban Islam yang ‘hilang’ melanjutkan perintisan Institut Sejarah Sains Islam- Arab di Frankfurt di Johann Wolfgang Goethe Universiti, Frankfurt, Jerman pada 1982.
Mengislamkan teknologi
Saat ini telah banyak teknologi milik Barat yang ternyata adalah hak paten kaum muslim. Berikut ini beberapa contoh teknologi yang merupakan hasil karya orang Islam.
1. Operasi Bedah
Sekitar tahun 1000 M, Al-Zahawi mempublikasikan 1500 ensiklopedia berilustrasi tentang operasi bedah yang digunakan di Eropa sebagai referensi medis selama lebih dari 500 tahun. Diantara banyak penemu, Zahrawi yang menggunakan larutan usus kucing sebagai benang jahitan, sebelum menangani operasi kedua untuk memindahkan jahitan pada luka. Dia juga diceritakan telah melakukan operasi caesar dan menciptakan sepasang alat penjepit pembedahan.
2. Mesin Terbang
Abbas bin Firnas adalah orang yang pertama membuat konstruksi pesawat terbang dan menerbangkannya. Pada abad ke-9 dia mendesain sebuah perangkat sayap dan secara khusus membentuk layaknya kostum burung. Dalam percobaannya yang terkenal di Cordova Spanyol, Ibnu Firnas terbang tinggi untuk beberapa saat sebelum kemudian jatuh ke tanah dan mematahkan tulang belakangnya. Desain yang dibuatnya secara tidak terduga menjadi inspirasi bagi seniman Italia Leonardo da Vinci beberapa ratus tahun kemudian.
3. Aljabar
Kata aljabar berasal dari judul kitab matematikawan terkenal Persia pada abad ke-9 ‘Kitab Al-Jabr Wa Al-Muqobalah’ yang kemudian diterjemahkan ke dalam buku ‘The Book of Reasoning and Balancing’. Membangun akar sistem Yunani dan Hindu, aljabar adalah sistem pemersatu untuk nomor rasional, nomor tidak rasional dan gelombang magnitudo. Matematikawan lainnya Al-Khawarizmi juga yang pertama kali memperkenalkan konsep angka menjadi bilangan yang bisa mempunyai kekuatan.
4. Optik
Banyak kemajuan penting dalam studi optik datang dari dunia muslim. Antara tahun 1000 M Ibnu Haitam membuktikan bahwa manusia melihat obyek dari refleksi cahaya dan masuk ke mata, mengacuhkan teori Euclid dan Ptolemy bahwa cahaya dihasilkan dari dalam mata sendiri. Fisikawan hebat muslim lainnya juga menemukan fenomena pengukuran kamera di mana dijelaskan bagaimana mata gambar dapat terlihat dengan koneksi antara optik dan otak.
5. Sikat gigi
Nabi Muhammad saw mempopulerkan penggunaan sikat gigi pertama kali pada tahun 600 M. Beliau menggunakan ranting pohon miswak (kayu ‘aroq) untuk membersihkan gigi dan menyegarkan nafas. Substansi kandungan pada miswak (lebih populer dengan sebutan siwak) juga digunakan pada pasta gigi modern.
6. Engkol
Banyak dasar sistem otomatis modern yang pertama kali berasal dari dunia muslim, termasuk pemutar yang menghubungkan sistem. Dengan mengkonversi gerakan memutar dengan gerakan lurus, pemutar memungkinkan obyek berat terangkat relatif lebih mudah. Teknologi tersebut ditemukan oleh Al-Jazari pada abad ke-12, kemudian digunakan dalam penggunaan sepeda hingga kini.
Perspektif Islam tentang teknologi
Para ilmuwan Barat dari abad ke abad kian mendewa-dewakan rasionalitas bahkan telah menuhankan ilmu dan teknologi sebagai kekuatan hidupnya. Mereka menyangka bahwa dengan iptek mereka pasti bisa mencapai segala sesuatu yang ada di bumi ini dan merasa dirinya berkuasa dengan menundukkan langit bahkan mengira akan dapat menundukkan segala yang ada di muka bumi ini. Sehingga tokoh-tokoh mereka merasa mempunyai hak untuk memaksakan ilmu pengetahuan dan teknologinya itu kepada semua yang ada di bumi agar mereka bisa mendikte dan memberi keputusan terhadap segala permasalahan di dunia. Sebenarnya masyarakat Barat itu patut dikasihani karena akibat kesombongannya itu mereka lupa bahwa manusia betapapun tinggi kepandaiannya hanya bisa mengetahui kulit luar atau hal-hal yang lahiriah saja dari kehidupan semesta alam. Manusia hanya diberi ilmu pengetahuan yang sedikit dari kemahaluasan ilmu Allah. Di atas orang pintar ada lagi yang lebih pintar dan sungguh Allah swt benci kepada orang yang hanya tahu tentang dunia tetapi bodoh tentang kebenaran yang ada di dalamnya.
Tampaknya manusia di masa depan akan mencapai taraf kemakmuran yang lebih tinggi dan memperoleh kemudahan-kemudahan yang lebih banyak lagi. Walaupun demikian kita juga menyaksikan betapa batin manusia zaman sekarang selalu mengerang karena sifat kerakusan manusia semakin merajalela dan perasaan saling iri antara perorangan atau kelompok telah menyalakan api kebencian di mana-mana. Kata orang bijak di dunia sekarang ini nafsu manusia lebih besar daripada akal sahabatnya. Kebanyakan manusia di dunia kini hanya mengingat kesenangan hidupnya dan lupa kepada Tuhannya. Ia mengira bahwa dunia ini adalah segalanya, tak ada kelanjutannya dan tak ada kehidupan kecuali di dunia saja. Benar jika agama Islam tidak menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga tidak anti terhadap barang-barang produk teknologi baik di jaman lampau di masa sekarang maupun di waktu-waktu yang akan datang. Demikian pula ajaran Islam tidak akan bertentangan dengan teori-teori pemikiran modern yang teratur dan lurus dan analisa-analisa yang teliti dan obyekitf. Dalam pandangan Islam menurut hukum asalnya segala sesuatu itu adalah mubah termasuk segala apa yang disajikan oleh berbagai peradaban baik yang lama ataupun yang baru. Semua itu sebagaimana diajarkan oleh Islam tidak ada yang hukumnya haram kecuali jika terdapat nash atau dalil yang tegas dan pasti mengharamkannya. Bukanlah Al Qur’an sendiri telah menegaskan bahwa agama Islam bukanlah agama yang sempit?
Adapun peradaban modern yang begitu luas memasyarakatkan produk-produk teknologi canggih seperti televisi video alat-alat komunikasi dan barang-barang mewah lainnya serta menawarkan aneka jenis hiburan bagi tiap orang tua, muda ataupun anak-anak yang tentunya alat-alat itu tidak bertanggung jawab atas apa yang diakibatkannya tetapi di atas pundak manusianyalah terletak semua tanggung jawab itu. Sebab adanya pelbagai media informasi dan alat-alat canggih yang dimiliki dunia saat ini dapat berbuat apa saja kiranya faktor manusianyalah yang menentukan operasionalnya. Ada kalanya menjadi manfaat yaitu manakala manusia menggunakan dengan baik dan tepat. Tetapi dapat pula mendatangkan dosa dan malapetaka manakala manusia menggunakannya untuk mengumbar hawa nafsu dan kesenangan dunia semata. Teknologi ibarat pisau. Jika dipakai untuk mengiris atau memotong sayuran, maka bukanlah sebuah keharaman. Tetapi jika digunakan untuk mengancam sesamanya ataupun membunuh, maka jelaslah keharamannya. Lihatlah teknologi software kitab atau lebih populer dengan sebutan maktabah syamilah. Kaum santri yang notabene dulunya masih kesulitan ketika mancari ibarat-ibarat dalam kitab, kini mulai menggunakan software ini. Maktabah syamilah yang berisi puluhan ribu kitab telah menjadi jurus ampuh bagi kaum santri dan tentunya lebih efisien waktu dan biaya. Bayangkan jika tanpa ada maktabah syamilah, mencari ibarat dalam kitab pasti akan mengalami kesulitan dan memakan waktu yang tidak sebentar. Begitu juga dengan biaya, membeli puluhan ribu kitab pastilah memakan biaya yang sangat mahal.
Penutup
Yang jelas, kita sebagai muslim harus senantiasa menjalankan syari’at Islam serta tidak boleh tertinggal oleh perkembangan jaman melalui mahir berteknologi bahkan menciptakan sebuah teknologi. Kemudian perlu diperhatikan substansi teknologi. Apakah sekadar untuk menuruti keinginan-keinginan syahwat lalu tenggelam dalam kemewahan dunia hingga melupakan akhirat dan menjadi pengikut-pengikut setan? Ataukah sebaliknya semua ilmu dan kemajuan itu dicari untuk menegakkan syariat Allah guna memakmurkan bumi dan menegakkan keadilan seperti yang dikehendaki Allah serta untuk meluruskan kehidupan dengan berlandaskan pada kaidah hukum-hukum Islam? Itulah pertanyaan dan tantangan bagi kita yang harus dijawab dengan pemikiran yang berwawasan jauh ke depan.
Namun terlepas dari problema dan kekhawatiran-kekhawatiran sebagaimana diuraikan di atas kita sebagai umat Islam harus selalu optimis dan tetap bersyukur kepada Allah swt seperti yang telah dijelaskan dalam firman-Nya, “lain syakartum laazidannakum walain kafartum inna ‘adzabiy lasyadid”.
Akhirnya, jangan pernah takut untuk berpikir, mencoba dan mebuat inovasi karena kebenaran hanya milik Allah, dan kekurangan adalah milik kita semua.

DAFTAR PUSTAKA
Arief Hikmah. 9 Penemuan Muslim yang Menggoncang Dunia. Artikel diakses pada 26 Juni 2010 dari http://ariefhikmah.com/sejarah/9-penemuan-muslim-yang-menggoncang-dunia/.
Azuddin Jud Ismail. KM Sejarah Sains dan Teknologi Islam. Artikel diakses pada 1 Januari 2009 dari http://www.scribd.com/doc/8938868/Azuddin-Jud-Ismail-KM-Sejarah-Sains-Teknologi-Islam.
Definisi Teknologi. Artikel diakses pada 20 Januari 2010 dari www.wikipedia.com.
Persepsi Islam Terhadap Perkembangan Sains dan Teknologi. Artikel diakses dari http://blog.re.or.id/persepsi-islam-terhadap-perkembangan-sains-dan-teknologi.htm.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Dakwah via Jurnalistik

Dewasa ini pengaruh globalisasi berkembang begitu pesat di tengah-tengah masyarakat dunia. Masyarakat pun menyadari bahwa saat ini mereka dihadapkan pada sebuah perubahan yang amat signifikan. Mungkin 10 tahun yang lalu masyarakat tidak pernah berpikir tentang adanya efek globalisasi yang begitu cepat merambah ke seluruh penjuru dunia. Terbukti, segala macam hal pasti ada dalam era globalisasi. Apa yang masyarakat inginkan, itulah yang mereka dapatkan. Impossible is nothing. Salah satu dampak globalisasi adalah pada aspek jurnalistik.
Jurnalistik secara harfiah berasal dari kata journalistic yang artinya kewartawanan atau hal ihwal pemberitaan. Kata dasarnya “jurnal” (journal), artinya laporan atau catatan, atau “jour” dalam bahasa Prancis yang berarti “hari” (day) atau “catatan harian” (diary). Dalam bahasa Belanda journalistiek artinya penyiaran catatan harian.
Jurnalistik adalah suatu kegiatan yang berhubungan dengan pencatatan atau pelaporan setiap hari. Jadi jurnalistik bukan pers, bukan media massa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, jurnalistik diartikan sebagai kegiatan untuk menyiapkan, mengedit, dan menulis surat kabar, majalah, atau berkala lainnya.
Menurut Onong Uchjana Effendy , kegiatan jurnalistik sudah berlangsung sangat tua, dimulai zaman Romawi Kuno ketika Julius Caesar berkuasa. Waktu itu ia mengeluarkan peraturan agar kegiatan-kegiatan senat setiap hari diumumkan kepada khalayak dengan ditempel pada semacam papan pengumuman yang disebut dengan Acta Diurna. Berbeda dengan media berita saat ini yang 'mendatangi' pembacanya, saat itu pembaca yang datang kepada media berita tersebut. Sebagian khalayak yang merupakan tuan tanah/hartawan yang ingin mengetahui informasi, mereka menyuruh budak-budaknya yang bisa membaca dan menulis untuk mencatat segala sesuatu yang terdapat pada Acta Diurna. Dengan perantaraan para pencatat yang disebut Diurnarii, para tuan tanah dan hartawan tadi mendapatkan berita-berita tentang Senat. Perkembangan selanjutnya pada Diurnarii tidak terbatas kepada para budak saja, tetapi juga bebas bagi orang yang ingin menjual catatan harian kepada siapa saja yang memerlukannya. Beritanya pun bukan saja kegiatan senat, tetapi juga hal-hal yang menyangkut kepentingan umum dan menarik khalayak. Akibatnya, terjadilah persaingan di antara Diurnarii untuk mencari berita dengan menelusuri kota Roma, bahkan sampai keluar kota itu. Persaingan itu kemudian menimbulkan korban pertama dalam sejarah jurnalistik. Seorang Diurnarii bernama Julius Rusticus dihukum gantung atas tuduhan menyiarkan berita yang belum boleh disiarkan (masih rahasia). Pada kasus tersebut terlihat bahwa kegiatan jurnalistik di zaman Romawi Kuno hanya mengelola hal-hal yang sifatnya informasi saja. Tetapi kegiatan jurnalistik tidak terus berkembang sejak zaman Romawi itu, karena setelah Kerajaan Romawi runtuh, kegiatan jurnalistik sempat mengalami kevakuman, terutama ketika Eropa masih dalam masa kegelapan (dark ages). Pada masa itu jurnalistik menghilang.
Beberapa abad kemudian, kegiatan jurnalistik mulai mengalami perkembangan pesat. Mulai dari laporan harian yang menjadi cikal bakal surat kabar harian hingga kemudian berkembang pada media elektronik seperti radio, televisi, sampai internet yang merupakan media bebas dan tak terbatas.
Dakwah via Jurnalistik
Seperti yang diketahui bahwa wahyu yang pertama kali turun adalah iqra’ yang berarti membaca. Maka, kegiatan jurnalistik pun tak lepas dari aktifitas membaca. Pada zaman Nabi Muhammad saw pun sudah mulai dikembangkan adanya aktifitas membaca dan menulis. Pada saat Nabi saw membacakan wahyu yang baru diterima, terjadilah aktifitas jurnalistik yang mana Nabi saw membaca, sedangkan Zaid bin Tsabit menulisnya. Hal inilah yang membuat Zaid bin Tsabit tercatat dalam tinta emas sejarah perkembangan Islam sebagai penulis wahyu. Mungkin ada beberapa nama lain seperti Muawiyah bin Abi Sufyan, namun tidak se-eksis Zaid bin Tsabit.
Aktivitas jurnalistik pun dapat digunakan sebagai media dakwah, yang tentunya selain melalui ceramah, pidato, dan sebagainya. Dalam hal ini, jurnalistik disajikan dalam bentuk sesuai norma, akidah, dan syari’at Islam. Sudah banyak orang yang berdakwah melalui media ini. Tak hanya dalam bentuk karya tulis non fiksi, melainkan juga karya tulis fiksi seperti novel, cerpen, dll. Tokoh-tokoh nasional seperti Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub , Dr. KH. M.A. Sahal Mahfudz , Salim A. Fillah , dan Habiburrahman El-Shirazy merupakan sebagian dari pionir-pionir juru dakwah jurnalistik yang tersebar di se-antero negeri ini.
Setidaknya ada lima tujuan dakwah via jurnalistik, yaitu:
1. Mendidik (ta’dib), yaitu melaksanakan fungsi edukasi yang Islami. Sebagai juru dakwah jurnalistik setidaknya harus lebih menguasai ajaran Islam dari rata-rata khalayak pembaca. Sehingga dapat mendidik umat Islam agar melaksanakan perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya, mencegah umat Islam dari perilaku yang menyimpang dari syariat Islam, juga melindungi umat dari pengaruh buruk media massa non-Islami yang anti-Islam.
Di samping itu pula hal ini harus didukung dengan minat baca masyarakat yang tinggi. Tanpa minat baca yang tinggi, wawasan masyarakat pun tak akan beranjak dari keterbelakangan. Maka dari itu, banyak poster-poster, stiker-stiker, dsb. yang menghimbau masyarakat supaya gemar membaca seperti dalam slogan "Banyak membaca, besar gunanya”, atau “Budayakan membaca!”.
2. Meluruskan Informasi (tasdid). Setidaknya ada tiga hal yang harus diluruskan oleh juru dakwah jurnalistik. Pertama, informasi tentang ajaran dan umat Islam. Kedua, informasi tentang karya-karya atau prestasi umat Islam. Ketiga, lebih dari itu jurnalis Muslim dituntut mampu menggali ‘melakukan investigative reporting’ tentang kondisi umat Islam di berbagai penjuru dunia.
Inilah yang merupakan salah satu manfaat penting jurnalistik. Selain menambah khazanah keilmuan, masyarakat pun bisa mengetahui informasi tentang adat, kehidupan, dan budaya kaum muslimin di seluruh dunia, juga dapat mengetahui dahsyatnya perjuangan kaum muslimin sebagai kaum minoritas yang kebanyakan hidup tertindas di negara-negara yang mayoritas non-muslim.
3. Memperbaharui (tajdid), yakni menyebarkan paham pembaharuan akan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam (reformisme Islam).
Sebagian diantara umat muslim (terutama kaum salaf) di Indonesia mungkin masih mempersoalkan tentang gerakan pembaharuan. Penulis di sini juga pernah mengalami kejadian ketika masih berada di lingkungan kaum salaf. Penulis akui, sebelum tinggal di kawasan Jakarta, kehidupan begitu terasa amat mudah sehingga masih bisa memegang teguh ajaran-ajaran salaf. Namun, ketika penulis mulai hijrah ke kawasan Ibukota, ternyata kajian-kajian pembaharuan sangat dibutuhkan oleh masyarakat muslim terutama di kota-kota besar. Sehingga dibutuhkan lahirnya karya-karya seperti Fiqih Kontemporer, Fiqih Sosial, dsb. di samping tetap melestarikan khazanah-khazanah keilmuan yang terdapat dalam kitab-kitab klasik tentunya.
4. Sebagai Pemersatu (muwahhid), yaitu harus mampu menjadi jembatan yang mempersatukan umat Islam. Oleh karena itu, kode etik jurnalistik yang berupa impartiality (tidak memihak pada golongan tertentu dan menyajikan dua sisi dari setiap informasi atau both side information) harus ditegakkan. Jurnalis Muslim harus membuang jauh-jauh sikap sektarian yang ‘mengutip pandangan pakar komunikasi Dr. Jalaluddin Rakhmat’ baik secara ideal maupun komersial tidaklah menguntungkan.
Apalagi saat ini begitu banyak gerakan-gerakan yang mencoba merongrong dan memecah belah persatuan umat Islam. Hal ini dapat dicegah salah satunya dengan dakwah via jurnalistik, yang tentunya selain melalui kegiatan ubudiyah seperti zakat dan sholat berjama’ah.
5. Berjuang (jihad), yaitu berjuang membela dan menegakkan agama Islam. Melalui media massa, juru dakwah jurnalistik berusaha keras membentuk pendapat umum yang mendorong penegakkan nilai-nilai Islam, menyemarakkan syiar Islam, mempromosikan citra Islam yang positif.
Zaman yang sangat modern dengan ajaran Islam yang tersebar di mana saja mewajibkan kepada setiap muslim untuk menjaga citra positif Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Apalagi banyak kasus-kasus teroris yang berkedok jihad memperjuangkan agama Islam. Paham ini bisa dikatakan benar-benar keblinger dan perlu adanya pelurusan. Salah satunya dengan metode dakwah jurnalistik.
Sebuah riset menjelaskan bahwa pengaruh jurnalistik begitu kuat di berbagai belahan dunia terutama di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dsb. bahkan diantaranya dijadikan sebagai pedoman dalam membuat kebijakan pada event-event kenegaraan seperti rapat parlemen. Oleh karena itu, tak ada salahnya jika kita sebagai muslim mampu mengembangkan potensi di bidang yang satu ini. Banyak yang sudah merasakan nikmatnya menulis, nikmatnya menjadi jurnalis, apalagi jurnalis yang izzul Islam wal muslimin li i’lai dinil Islam, meski harus melewati berbagai macam perjuangan yang luar biasa dan merasakan pahit getir ketika tulisannya diremehkan oleh beberapa kalangan karena dianggap masih amatir.
Penutup
Jurnalistik, sebuah kata yang sangat asing ketika penulis baru memasuki jenjang MTs, asing namun asyik, kelihatannya. Saat pertama kali mengetahui kalau siswa yang masih duduk di bangku MTs mampu menggoreskan penanya melalui ide-ide cemerlang yang digagas demi kemajuan agama Islam, maka penulis pun mulai meminati dan menggandrungi bidang ini. Sebuah keinginan kuat untuk maju, meski sampai sekarang masih berlabel ‘amatir’. Jurnalistic is power, itulah semboyan penulis. Kehebatan jurnalistik yang mampu menggoyang dunia, membuatnya tak gentar dan pantang menyerah dan tetap bersemangat untuk mengembangkan agama Islam via jurnalistik (meski belum pantas dianggap berdakwah).
Jangan pernah takut untuk memulai dari nol. From zero to hero , no sweet without sweat . Memulai dari nol bukan berarti tidak bisa sama sekali. Memulai dari nol hanya dilakukan oleh orang-orang yang berkemauan keras untuk maju. Semua butuh perjuangan, pengorbanan, dan pengalaman. Mengutip statemen Jakob Sumardjo bahwa manusia ‘hidup untuk belajar’, bukan ‘belajar untuk hidup’.
Fungsi jurnalistik diantaranya adalah sebagai media bagi orang-orang yang memiliki gagasan-gagasan cemerlang apalagi demi kemajuan Islam di zaman yang modern ini. Selain itu, jurnalistik juga bisa menjadi media alternatif bagi orang-orang yang tidak memiliki mental untuk berdakwah face to face.
Akhirnya, jangan pernah berhenti untuk berkarya, apalagi demi agama kita, Islam. Bukan imbalan yang dicari, bukan pula ketenaran, apalagi sok-sokan, melainkan berjuang demi syiar Islam. Lakukanlah sesuai kemampuan, jangan berlebihan jika memang belum mampu. “Bila anda merasa bukanlah orang yang luar biasa, maka lakukanlah pekerjaan yang biasa, namun dengan semangat dan cinta yang luar biasa.”
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

PERANAN PERS DALAM MASYARAKAT DEMOKRASI

A.Pengertian, Fungsi, dan Peran Serta Perkembangan Pers di Indonesia
1.Pengertian Pers
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah pers mempuyai berbagai makna, yaitu: usaha percetakan dan penerbitan, usaha pengumpulan dan penyiaran berita, penyiaran berita melalui surat kabar, majalah, dan radio, orang yang bekerja dalam penyiaran berita, dan medium penyiaran berita, seperti surat kabar, majalah, radio, televisi, dan film.
Sedangkan menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers bahwa pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
2.Fungsi dan Peran Pers dalam Masyarakat Berdemokrasi
Adapun fungsi pers secara umum, yakni: memberi informasi, mendidik, memberikan kontrol, menghubungkan atau menjembatani, dan memberikan hiburan.
Sementara itu, menurut Mochtar Lubis, di negara-negara berkembang pers memiliki fungsi penting, yaitu: fungsi pemersatu, fungsi pendidik, fungsi public watch dog atau penjaga kepentingan umum, fungsi menghapuskan mitos dan mistik dari kehidupan politik negara-negara berkembang, dan fungsi sebagai forum untuk membicarakan masalah-masalah politik yang dihadapi.
Mengingat betapa pentingnya keberadaan pers dalam negara demokrasi, maka pers memiliki peranan sebagai berikut.
a.Saluran informasi kepada masyarakat.
b.Saluran bagi debat publik dan opini publik.
c.Saluran investigasi masalah-masalah publik.
d.Saluran program pemerintah dan kebijakan publik kepada masyarakat.
e.Saluran pembelajaran.
Sedangkan menurut pasal 6 UU No. 40 Tahun 1999 disebutkan bahwa pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut.
a.Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
b.Menegakkan nilai-nilai dasar berdemokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinnekaan.
c.Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.
d.Melakukan pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
e.Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
3.Perkembangan Pers di Indonesia
Perkembangan pers di Indonesia dimulai pada tanggal 7 Agustus 1774 ketika diterbitkannya Bataviasche Novelles en Politique Raisonemnetan yang merupakan surat kabar pertama di Indonesia. Setelah dua tahun terbit beredar, akhirnya surat kabar tersebut dilarang terbit oleh pemerintah Belanda atas perintah VOC di Nederland karena diperkirakan akan mengganggu bisnis VOC di Hindia Belanda. Setelah itu, terbit beberapa surat kabar berbahasa Melayu, antara lain Slompet Melajoe, Bintang Soerabaja (1861), serta Medan Prijaji (1907). Sementara itu, surat kabar terbitan peranakan Tionghoa yang muncul pertama kali adalah Li Po (1901), kemudian Sin Po (1910).
Sejarah kebebasan pers tidak serta-merta dapat kita rasakan seperti saat ini. Perkembangan pers berangsur-angsur sejak zaman penjajahan hingga sekarang ini melewati beberapa periode.
a.Pers pada masa Penjajahan Belanda
b.Pers pada masa Pergerakan
c.Pers pada masa Penjajahan Jepang
d.Pers pada masa Revolusi
e.Pers pada masa Demokrasi Liberal
f.Pers pada masa Demokrasi Terpimpin
g.Pers pada masa Orde Baru
h.Pers pada masa Reformasi
Selain pengertian, fungsi, dan peran serta perkembangan pers di Indonesia, perlu diketahui juga bahwa setiap negara di dunia ini menjalankan system pers yang berbeda-beda karena adanya perbedaan ideologi atau falsafah yang dianut oleh setiap negara yang bersangkutan.
Adapun sistem pers yang penerapannya berbeda-beda tersebut adalah sebagai berikut.
1.Sistem Pers Liberal
2.Sistem Pers Komunis
3.Sistem Pers Otoriter
4.Sistem Pers yang Bebas dan Bertanggung Jawab
5.Sistem Pers Pembangunan
6.Sistem Pers Pancasila
B.Pers yang Bebas dan Bertanggung Jawab sesuai Kode Etik Jurnalistik dalam Masyarakat Demokratis di Indonesia
1.Pers yang bebas dan Bertanggung Jawab
Pers yang bebas adalah wujud dari kedaulatan rakyat yang merupakan hal utama yang penting dalam kehidupan masyarakat yang demokratis. Kebebasan pers juga merupakan bentuk dari kebebasan berbicara dan memperoleh informasi yang telah mendapat jaminan hukum oleh negara.
Agar kebebasan pers tidak melampaui batas, maka harus diartikan sebagai berikut.
a.Bahwa kebebasan tersebut tidaklah berarti bebas untuk melanggar kepentingan-kepentingan individu yang lain.
b.Bahwa kebebasan harus memerhatikan segi-segi keamanan negara.
c.Bahwa pelanggaran terhadap kemerdekaan pers membawa konsekuensi terhadap ukuran yang berlaku.
2.Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia
Penerapan kebebasan pers dalam negara demokrasi harus tetap dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, dan berfungsi secara maksimal bukannya menimbulkan ketegangan-ketegangan yang berujung konflik sebagai imbas dari kebebasan yang melampaui batas.
Perlu anda ketahui bahwa Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia terdapat empat asas,sebagai berikut
1.Asas Profesionalitas
2.Asas Nasionalisme
3.Asas Demokrasi
4.Asas Religius
C.Evaluasi terhadap Kebebasan Pers Dan Dampak Penyalahgunaan Kebebasan Media Massa dalam Masyarakat Demokratis di Indonesia
1.Upaya Pemerintah dalam Mengendalikan Kebebasan Pers
a.Membuat undang-undang pers
b.Memfungsikan dewan pers sebagai pembina pers nasional
c.Menegakkan supremasi hukum
d.Melaksanakan sosialisasi dan meningkatkan kesadaran rakyat akan hak-hak asasi manusia
2.Dampak Penyalahgunaan Kebebasan Media Massa dalam Masyarakat Demokratis di Indonesia
Berikut ini beberapa contoh bentuk penyalahgunaan kebebasan media massa.
a.Penyiaran berita / informasi yang tidak memenuhi kode etik jurnalistik
b.Peradilan oleh pers
c.Membentuk opini yang menyesatkan
d.Bentuk tulisan / saran bebas yang bersifat profokatif
Di samping beberapa dampak penyalahgunaan kebebasan media massa yang telah disebutkan di atas, secara khusus penyalahgunaan kebebasan media massa akan berdampak sebagai berikut.
a.Bagi kepentingan pribadi
b.Bagi kepentingan masyarakat
c.Bagi kepentingan negara
Hal-hal tersebut dapat menimbulkan dampak-dampak sebagai berikut.
1.Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah berkurang
2.Kepercayaan luar negeri luntur
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Ujian

“Aaaaa…” pekikku. Mimpi itu datang lagi untuk yang ketiga kalinya. Pesawat yang ku tumpangi kehilangan kendali hingga menerobos perbukitan entah dimana. Dua sahabatku, gus Ihya’ dan gus Fadhil berlumuran darah ‘yang tampak’ sedang meregang nyawa. Aku sendiri terjepit diantara reruntuhan atap pesawat di malam yang gelap pekat ditambah hujan yang amat deras. Tak ada suara minta pertolongan. Entah seluruh penumpang sudah tewas atau belum, aku tak tahu. Mataku masih menatap 2 sosok sahabatku yang ‘mungkin’ sudah tak bernyawa. Tak ada tanda-tanda datangnya bantuan. Akupun hampir lupa kalau masih punya Allah yang senantiasa menolong hambanya yang beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Dengan sisa-sisa kesadaranku kucoba untuk memanjatkan do’a sebisaku.
***
Namaku Fathoni. Begitulah orang tuaku memberinya. Singkat, padat, dan mudah diingat. Aku hanyalah pemuda desa atau kalau kata teman-temanku aku itu ‘wong gunung’. Pekerjaan orang tuaku sebagai petani. Aku anak ketiga dari 6 bersaudara. Kakakku yang paling besar sudah menikah. Yang kedua, perempuan, sekarang masih kuliah di Surabaya. Sedangkan aku sudah lulus MA beberapa bulan yang lalu. Saat ini aku masih dalam proses pengurusan beasiswa kuliah di Australia bersama gus Ihya’ dan gus Fadhil. Berbeda denganku, gus Ihya’ dan gus Fadhil adalah gawagis (istilah untuk gus-gus bagi orang Jogja.red). Mereka adalah saudara sepupu. Merekalah sahabatku yang sering menemani keseharianku. Belajar, jalan-jalan, dan yang paling penting adalah makan bertiga di kantin.
“Assalamu’alaikum…” sebuah suara tertuju padaku. “Wa’alaikumussalam, masya’ allah, sampeyan to gus, ketemu lagi nich,” ucapku. Pagi itu aku berniat untuk berziarah ke makam Sunan Kalijaga. Tak kusangka aku akan bertemu dengan kedua sahabatku ini saat memarkir motor.
“Badhe ziarah, gus?” tanyaku. “Ora, arep cuci mata. Yo ziarah lah, piye to sampeyan iki,” balas gus Fadhil penuh canda. Kamipun tertawa. “Monggo, ziarah bareng, jama’ah gitu,” ajakku. Akhirnya kami bertiga ziarah bersama.
***
Seusai ziarah, kamipun segera pulang ke Kudus. Cuaca hari ini amat buruk. Demak sejak tadi diguyur hujan cukup deras. Entah dengan Kudus. Langit sebelah timur terlihat amat gelap oleh mendung.
“Semoga ini semua adalah hujan rahmat, bukan sebaliknya,” bisikku dalam hati.
Tiba-tiba aku merasa ingin segera sampai rumah. Seluruh anggota keluargaku hari ini berkumpul untuk syukuran atas keberhasilanku mendapatkan beasiswa kuliah di Australia. Aku sudah lama rindu dengan kedua kakakku yang lama tak berkunjung ke rumah. Hari ini mereka akan datang, katanya sich sebelum dzuhur.
Pukul 14.00 WIB aku sudah memasuki wilayah Kudus. Sepanjang perjalanan pulang pikiranku terus saja melamun tentang keberangkatanku ke Australia satu minggu lagi. Cuaca sudah agak mendingan. Akupun berpisah dengan kedua sahabatku dan sesegera mungkin memacu motorku agar cepat-cepat sampai rumah.
***
Kugeletakkan motorku begitu saja. Aku terpaku tak percaya melihat keadaan di sekelilingku. “Astaghfirullahal’adzim,” bisikku. Dusunku yang begitu asri tanpa diduga-duga sudah berubah menjadi timbunan tanah. Tak kusangka hujan telah menjadikan desaku tertimbun longsor. Akupun langsung teringat keluargaku. Dimana mereka? Kucoba untuk mencari keberadaan mereka. Tapi apa daya, yang kutemukan hanyalah tanah, tanah, dan tanah. “Dimana keluargakuuu...?” akupun berteriak-teriak layaknya orang kesetanan.
Sesaat kemudian datanglah Tim SAR. Mereka menyisir seluruh timbunan tanah karena dimungkinkan banyak warga yang ikut tertimbun.
Hari mulai senja. Ditemukan + 70 korban tewas dan belasan korban kritis kekurangan oksigen. Penyisiran dihentikan. Esok hari mereka akan menyisir dusunku kembali.
Akupun mulai bingung dan sedih. Tak terasa air mataku sudah meleleh. Keluargaku belum ditemukan. Dari kejauhan terdengar adzan maghrib sudah berkumandang. Aku teringat gus Ihya’. Aku ingin ke rumahnya untuk meminta bantuan agar bisa bermalam di rumahnya selagi keluargaku belum ditemukan. Aku tak bisa bermalam di dusunku sendiri karena memang sudah berupa timbunan tanah dan tak berpenghuni. Kuhidupkan motorku. Di kegelapan malam aku segera meninggalkan dusunku untuk malam ini saja. Aku masih memikirkan keberadaan keluargaku. Tanpa sadar aku lupa membelok saat ada tikungan di depan. Aku terperosok ke jurang disambut oleh bebatuan dan pepohonan. Tubuhku terbentur batu besar dan terhenti disana.
“Tolong... tolong... tolong...” teriakanku mulai melemah.Tubuhku sudah tak berdaya. Tiba-tiba di sekitarku segalanya terasa gelap dan sunyi senyap.
***
Aku tak tahu sudah berapa lama aku pingsan. Ketika aku bangun aku sudah berpindah tempat. Sejuk, mungkin malah agak dingin. Ternyata aku sudah berada di Rumah Sakit. Disamping tempat tidurku berdiri gus Ihya’ dan gus Fadhil. Kedua mata mereka terlihat berkaca-kaca. Aku masih belum sadar betul. Kucoba untuk duduk tetapi ditahan oleh gus Fadhil. “Nggak usah duduk, badanmu masih lemah,” ujar gus Ihya’. “Aku ingin pulang, gus,” tuturku lemah. “Kamu nggak bisa pulang, dusunmu masih... ya tahulah kau,” kata gus Fadhil. “Bagaimana keadaan keluargaku?” tanyaku. Suasana terasa hening sejenak. “Keluargaku bagaimana?” tanyaku lagi. Gus Ihya’ dan gus Fadhil saling berpandangan. “Ehm, seluruh keluargamu sudah ditemukan. Tapi maaf, mereka sudah meninggal,” kata gus Fadhil dengan pandangan menunduk. “Benarkah?” tanyaku tak percaya. “Iya, kemarin mereka sudah ditemukan tak bernyawa,” jawab gus Ihya’. Akupun pingsan.
***
Setelah 3 hari dirawat, akhirnya aku dibawa pulang ke rumah gus Ihya’. Kali ini aku kembali dipusingkan dengan barang-barang dan berkas-berkas beasiswaku yang tertimbun longsor. “Sudahlah, untuk sementara waktu pakailah pakaianku,” tutur gus Ihya’. Gus Fadhilpun mengiyakan. “Bagaimana dengan berkas-berkasku?” tanyaku. “Nanti akan kucoba agar bisa diurus kembali. Abahku akan mengusahakannya,” jawab gus Fadhil. “Makasih gus, kalian sudah banyak membantuku,” ucapku.
Cukup dua hari berkas-berkasku sudah bisa berada di tanganku. Tinggal dua hari lagi aku berangkat ke Australia. Kedua sahabatku dengan amat baiknya telah membelikanku beberapa potong baju, celana, dan sarung. Akupun hanya bisa terharu oleh perlakuan mereka kepadaku. Sore hari sebelum keberangkatanku, kusempatkan untuk berziarah ke makam keluargaku di dekat dusunku. Disana aku tak bisa menahan keluarnya air mataku. Mereka telah meninggalkanku untuk selama-lamanya. Akupun akan meninggalkan mereka untuk beberapa tahun ke depan.
***
Bandara Soekarno-Hatta cukup ramai. Keberangkatanku dijadualkan pukul 20.00 WIB. Aku bersama gus Ihya’ dan gus Fadhil diantar oleh keluarga mereka. Air mataku kembali meleleh. Di saat keberangkatanku ke Australia tak ada keluargaku yang menemaniku. “Jangan bersedih, anggap saja kami semua ini keluargamu,” tutur ayah gus Fadhil. Mereka semuapun tersenyum padaku. Lagi-lagi aku tak bisa menahan keluarnya air mataku. Kali ini adalah air mata bahagia. “Terima kasih sudah begitu banyak membantu saya. Saya akan membalas semua kebaikan kalian dengan prestasi dan kesuksesan saya. Saya akan membuat keluarga saya bahagia melihat keadaan saya esok hari,” ucapku. Pesawat akan segera delay. Kami bertiga berpisah dengan keluarga disertai berbagai untaian do’a kesuksesan dari mereka.
Cuaca kelihatan mulai memburuk. Sudah setengah jam pesawat melayang di udara. Semuanya terlihat baik-baik saja. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya kupanjatkan do’a. Kedua temankupun begitu. Akhirnya akupun tertidur. Tidur yang amat nyenyak. Paling nyenyak dari yang nyenyak-nyenyak. Sampai-sampai instruksi pilot dan pramugari tak kuhiraukan. Tiba-tiba pesawat sudah mulai terombang-ambing kehilangan kendali. Akupun terbangun. “Aaa... aaa... aaa...” Hanya itulah yang dapat keluar dari mulut para penumpang. Aku mulai teringat mimpiku dahulu. Seperti inilah mimpi yang kualami. Dengan sekejap pesawat sudah menerobos perbukitan. Sangat mirip dengan mimpiku. Aku tertindih reruntuhan pesawat. Badanku berdarah terkena pecahan-pecahan kaca. Kulihat kedua sahabatku sudah terbujur kaku. “Gus Ihya’... Gus Fadhil... Gus Ihya’... Gus Fadhil...” Kucoba untuk memanggil mereka tetapi tak ada jawaban. Aku mulai melemah. Segalanya terlihat buram. Mataku tak dapat melihat dengan jelas. Akupun pingsan.
***
Evakuasi korban sudah dilakukan. Hanya aku yang masih hidup. Aku dibawa ke Rumah Sakit terdekat. Operasi langsung dilakukan. Setelah dua jam operasipun selesai. Operasi yang sukses. Akupun dipindah ke ruangan perawatan. Banyak sekali wartawan yang mewawancaraiku. Akupun bercerita mulai longsornya dusunku sampai kecelakaan pesawat itu. Waktu kian bergulir tetapi badanku bertambah lemah. Lagi-lagi aku harus masuk ruang ICU kembali. Kali ini cukup lama, hampir empat jam.
“Sorry, he is unsaved,” tutur seorang dokter kepada beberapa wartawan di depan ruang ICU.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
publisher: 7 templates