You are here: Home > > Dakwah via Jurnalistik

Dakwah via Jurnalistik

Dewasa ini pengaruh globalisasi berkembang begitu pesat di tengah-tengah masyarakat dunia. Masyarakat pun menyadari bahwa saat ini mereka dihadapkan pada sebuah perubahan yang amat signifikan. Mungkin 10 tahun yang lalu masyarakat tidak pernah berpikir tentang adanya efek globalisasi yang begitu cepat merambah ke seluruh penjuru dunia. Terbukti, segala macam hal pasti ada dalam era globalisasi. Apa yang masyarakat inginkan, itulah yang mereka dapatkan. Impossible is nothing. Salah satu dampak globalisasi adalah pada aspek jurnalistik.
Jurnalistik secara harfiah berasal dari kata journalistic yang artinya kewartawanan atau hal ihwal pemberitaan. Kata dasarnya “jurnal” (journal), artinya laporan atau catatan, atau “jour” dalam bahasa Prancis yang berarti “hari” (day) atau “catatan harian” (diary). Dalam bahasa Belanda journalistiek artinya penyiaran catatan harian.
Jurnalistik adalah suatu kegiatan yang berhubungan dengan pencatatan atau pelaporan setiap hari. Jadi jurnalistik bukan pers, bukan media massa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, jurnalistik diartikan sebagai kegiatan untuk menyiapkan, mengedit, dan menulis surat kabar, majalah, atau berkala lainnya.
Menurut Onong Uchjana Effendy , kegiatan jurnalistik sudah berlangsung sangat tua, dimulai zaman Romawi Kuno ketika Julius Caesar berkuasa. Waktu itu ia mengeluarkan peraturan agar kegiatan-kegiatan senat setiap hari diumumkan kepada khalayak dengan ditempel pada semacam papan pengumuman yang disebut dengan Acta Diurna. Berbeda dengan media berita saat ini yang 'mendatangi' pembacanya, saat itu pembaca yang datang kepada media berita tersebut. Sebagian khalayak yang merupakan tuan tanah/hartawan yang ingin mengetahui informasi, mereka menyuruh budak-budaknya yang bisa membaca dan menulis untuk mencatat segala sesuatu yang terdapat pada Acta Diurna. Dengan perantaraan para pencatat yang disebut Diurnarii, para tuan tanah dan hartawan tadi mendapatkan berita-berita tentang Senat. Perkembangan selanjutnya pada Diurnarii tidak terbatas kepada para budak saja, tetapi juga bebas bagi orang yang ingin menjual catatan harian kepada siapa saja yang memerlukannya. Beritanya pun bukan saja kegiatan senat, tetapi juga hal-hal yang menyangkut kepentingan umum dan menarik khalayak. Akibatnya, terjadilah persaingan di antara Diurnarii untuk mencari berita dengan menelusuri kota Roma, bahkan sampai keluar kota itu. Persaingan itu kemudian menimbulkan korban pertama dalam sejarah jurnalistik. Seorang Diurnarii bernama Julius Rusticus dihukum gantung atas tuduhan menyiarkan berita yang belum boleh disiarkan (masih rahasia). Pada kasus tersebut terlihat bahwa kegiatan jurnalistik di zaman Romawi Kuno hanya mengelola hal-hal yang sifatnya informasi saja. Tetapi kegiatan jurnalistik tidak terus berkembang sejak zaman Romawi itu, karena setelah Kerajaan Romawi runtuh, kegiatan jurnalistik sempat mengalami kevakuman, terutama ketika Eropa masih dalam masa kegelapan (dark ages). Pada masa itu jurnalistik menghilang.
Beberapa abad kemudian, kegiatan jurnalistik mulai mengalami perkembangan pesat. Mulai dari laporan harian yang menjadi cikal bakal surat kabar harian hingga kemudian berkembang pada media elektronik seperti radio, televisi, sampai internet yang merupakan media bebas dan tak terbatas.
Dakwah via Jurnalistik
Seperti yang diketahui bahwa wahyu yang pertama kali turun adalah iqra’ yang berarti membaca. Maka, kegiatan jurnalistik pun tak lepas dari aktifitas membaca. Pada zaman Nabi Muhammad saw pun sudah mulai dikembangkan adanya aktifitas membaca dan menulis. Pada saat Nabi saw membacakan wahyu yang baru diterima, terjadilah aktifitas jurnalistik yang mana Nabi saw membaca, sedangkan Zaid bin Tsabit menulisnya. Hal inilah yang membuat Zaid bin Tsabit tercatat dalam tinta emas sejarah perkembangan Islam sebagai penulis wahyu. Mungkin ada beberapa nama lain seperti Muawiyah bin Abi Sufyan, namun tidak se-eksis Zaid bin Tsabit.
Aktivitas jurnalistik pun dapat digunakan sebagai media dakwah, yang tentunya selain melalui ceramah, pidato, dan sebagainya. Dalam hal ini, jurnalistik disajikan dalam bentuk sesuai norma, akidah, dan syari’at Islam. Sudah banyak orang yang berdakwah melalui media ini. Tak hanya dalam bentuk karya tulis non fiksi, melainkan juga karya tulis fiksi seperti novel, cerpen, dll. Tokoh-tokoh nasional seperti Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub , Dr. KH. M.A. Sahal Mahfudz , Salim A. Fillah , dan Habiburrahman El-Shirazy merupakan sebagian dari pionir-pionir juru dakwah jurnalistik yang tersebar di se-antero negeri ini.
Setidaknya ada lima tujuan dakwah via jurnalistik, yaitu:
1. Mendidik (ta’dib), yaitu melaksanakan fungsi edukasi yang Islami. Sebagai juru dakwah jurnalistik setidaknya harus lebih menguasai ajaran Islam dari rata-rata khalayak pembaca. Sehingga dapat mendidik umat Islam agar melaksanakan perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya, mencegah umat Islam dari perilaku yang menyimpang dari syariat Islam, juga melindungi umat dari pengaruh buruk media massa non-Islami yang anti-Islam.
Di samping itu pula hal ini harus didukung dengan minat baca masyarakat yang tinggi. Tanpa minat baca yang tinggi, wawasan masyarakat pun tak akan beranjak dari keterbelakangan. Maka dari itu, banyak poster-poster, stiker-stiker, dsb. yang menghimbau masyarakat supaya gemar membaca seperti dalam slogan "Banyak membaca, besar gunanya”, atau “Budayakan membaca!”.
2. Meluruskan Informasi (tasdid). Setidaknya ada tiga hal yang harus diluruskan oleh juru dakwah jurnalistik. Pertama, informasi tentang ajaran dan umat Islam. Kedua, informasi tentang karya-karya atau prestasi umat Islam. Ketiga, lebih dari itu jurnalis Muslim dituntut mampu menggali ‘melakukan investigative reporting’ tentang kondisi umat Islam di berbagai penjuru dunia.
Inilah yang merupakan salah satu manfaat penting jurnalistik. Selain menambah khazanah keilmuan, masyarakat pun bisa mengetahui informasi tentang adat, kehidupan, dan budaya kaum muslimin di seluruh dunia, juga dapat mengetahui dahsyatnya perjuangan kaum muslimin sebagai kaum minoritas yang kebanyakan hidup tertindas di negara-negara yang mayoritas non-muslim.
3. Memperbaharui (tajdid), yakni menyebarkan paham pembaharuan akan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam (reformisme Islam).
Sebagian diantara umat muslim (terutama kaum salaf) di Indonesia mungkin masih mempersoalkan tentang gerakan pembaharuan. Penulis di sini juga pernah mengalami kejadian ketika masih berada di lingkungan kaum salaf. Penulis akui, sebelum tinggal di kawasan Jakarta, kehidupan begitu terasa amat mudah sehingga masih bisa memegang teguh ajaran-ajaran salaf. Namun, ketika penulis mulai hijrah ke kawasan Ibukota, ternyata kajian-kajian pembaharuan sangat dibutuhkan oleh masyarakat muslim terutama di kota-kota besar. Sehingga dibutuhkan lahirnya karya-karya seperti Fiqih Kontemporer, Fiqih Sosial, dsb. di samping tetap melestarikan khazanah-khazanah keilmuan yang terdapat dalam kitab-kitab klasik tentunya.
4. Sebagai Pemersatu (muwahhid), yaitu harus mampu menjadi jembatan yang mempersatukan umat Islam. Oleh karena itu, kode etik jurnalistik yang berupa impartiality (tidak memihak pada golongan tertentu dan menyajikan dua sisi dari setiap informasi atau both side information) harus ditegakkan. Jurnalis Muslim harus membuang jauh-jauh sikap sektarian yang ‘mengutip pandangan pakar komunikasi Dr. Jalaluddin Rakhmat’ baik secara ideal maupun komersial tidaklah menguntungkan.
Apalagi saat ini begitu banyak gerakan-gerakan yang mencoba merongrong dan memecah belah persatuan umat Islam. Hal ini dapat dicegah salah satunya dengan dakwah via jurnalistik, yang tentunya selain melalui kegiatan ubudiyah seperti zakat dan sholat berjama’ah.
5. Berjuang (jihad), yaitu berjuang membela dan menegakkan agama Islam. Melalui media massa, juru dakwah jurnalistik berusaha keras membentuk pendapat umum yang mendorong penegakkan nilai-nilai Islam, menyemarakkan syiar Islam, mempromosikan citra Islam yang positif.
Zaman yang sangat modern dengan ajaran Islam yang tersebar di mana saja mewajibkan kepada setiap muslim untuk menjaga citra positif Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Apalagi banyak kasus-kasus teroris yang berkedok jihad memperjuangkan agama Islam. Paham ini bisa dikatakan benar-benar keblinger dan perlu adanya pelurusan. Salah satunya dengan metode dakwah jurnalistik.
Sebuah riset menjelaskan bahwa pengaruh jurnalistik begitu kuat di berbagai belahan dunia terutama di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dsb. bahkan diantaranya dijadikan sebagai pedoman dalam membuat kebijakan pada event-event kenegaraan seperti rapat parlemen. Oleh karena itu, tak ada salahnya jika kita sebagai muslim mampu mengembangkan potensi di bidang yang satu ini. Banyak yang sudah merasakan nikmatnya menulis, nikmatnya menjadi jurnalis, apalagi jurnalis yang izzul Islam wal muslimin li i’lai dinil Islam, meski harus melewati berbagai macam perjuangan yang luar biasa dan merasakan pahit getir ketika tulisannya diremehkan oleh beberapa kalangan karena dianggap masih amatir.
Penutup
Jurnalistik, sebuah kata yang sangat asing ketika penulis baru memasuki jenjang MTs, asing namun asyik, kelihatannya. Saat pertama kali mengetahui kalau siswa yang masih duduk di bangku MTs mampu menggoreskan penanya melalui ide-ide cemerlang yang digagas demi kemajuan agama Islam, maka penulis pun mulai meminati dan menggandrungi bidang ini. Sebuah keinginan kuat untuk maju, meski sampai sekarang masih berlabel ‘amatir’. Jurnalistic is power, itulah semboyan penulis. Kehebatan jurnalistik yang mampu menggoyang dunia, membuatnya tak gentar dan pantang menyerah dan tetap bersemangat untuk mengembangkan agama Islam via jurnalistik (meski belum pantas dianggap berdakwah).
Jangan pernah takut untuk memulai dari nol. From zero to hero , no sweet without sweat . Memulai dari nol bukan berarti tidak bisa sama sekali. Memulai dari nol hanya dilakukan oleh orang-orang yang berkemauan keras untuk maju. Semua butuh perjuangan, pengorbanan, dan pengalaman. Mengutip statemen Jakob Sumardjo bahwa manusia ‘hidup untuk belajar’, bukan ‘belajar untuk hidup’.
Fungsi jurnalistik diantaranya adalah sebagai media bagi orang-orang yang memiliki gagasan-gagasan cemerlang apalagi demi kemajuan Islam di zaman yang modern ini. Selain itu, jurnalistik juga bisa menjadi media alternatif bagi orang-orang yang tidak memiliki mental untuk berdakwah face to face.
Akhirnya, jangan pernah berhenti untuk berkarya, apalagi demi agama kita, Islam. Bukan imbalan yang dicari, bukan pula ketenaran, apalagi sok-sokan, melainkan berjuang demi syiar Islam. Lakukanlah sesuai kemampuan, jangan berlebihan jika memang belum mampu. “Bila anda merasa bukanlah orang yang luar biasa, maka lakukanlah pekerjaan yang biasa, namun dengan semangat dan cinta yang luar biasa.”
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
publisher: 7 templates