You are here: Home > > Upluk... Upluk... Upluk...

Upluk... Upluk... Upluk...

“Upluk... upluk... upluk...”, terdengar suara air mendidih.
Aku masih terjebak dalam lamunan tak berarti, yang tak mungkin terjadi. Terkadang lamunan itu membuatku tertawa, tak jarang pula membuatku berteriak-teriak tak jelas arahnya. Sampai detik ini ku tak tahu mengapa diriku selalu begitu.
***
Kampungku memang cukup sepi. Sebuah kampung di tengah lautan dan tak pernah menjanjikan. Hampir semua kaum pria merantau ke seberang pulau. Di sini hanya tinggal menyisakan beberapa orang pria saja, dan konon akupun termasuk salah satu diantara mereka.
“Dasar tuh orang emang pemales, pelamun, kagak pernah mau kerja, tak tahu apa kalau bapaknya udah tua...”, celetuk salah seorang tetangga yang tentunya wanita.
“Nggak tahu tuh, dulu maksa-maksa disekolahin ke seberang pulau, sekarang udah lulus malah bisanya cuman melamun doang...”, timpal tetangga yang lain. “Katanya sich pinter waktu sekolah, kesambet jin kali...”, tambahnya.
***
“Upluk... upluk... upluk...”, air mendidih itu tinggal setengahnya.
Aku di sini, selalu di sini, menyendiri di depan api, memasak air meski tak pernah jadi. Aku bukan penderita autis yang tak pernah ingin jadi artis. Aku hanyalah anak kemarin pagi yang tak mampu melawan kerasnya ombak di pulau ini, ombak yang keluar dari mulut penduduk sini. Semua terasa memusuhi.
“Padahal dibanding penduduk sini dia sekolahnya paling tinggi, bisa nyampe SMA di seberang pulau sana”, ngerumpi pun terus berlanjut.
“Emang bocah gemblung, gak pernah nyadar kalau emaknya udah mati, bapaknya juga bentar lagi, emang dasar anaknya tak tahu diri”, yang lain pun ikutan membumbui.
Aku selalu ingin pergi dari pulau ini, namun bapakku tak pernah mengijini.
***
“Upluk... upluk... upluk...”, air mendidih itu tinggal sepertiganya.
Dulu aku memang pintar, namun segalanya kini telah memudar. Aku tak mampu meninggalkan ayahku yang ke mana-mana selalu ditandu. Kurasa memang percuma aku sekolah ke seberang pulau dan akhirnya hanya menjadi pengangguran yang agak sakau. Aku ingin seperti kakak kelasku yang bisa keliling dunia, tanpa mengeluarkan uang dari sakunya. Aku ingin menjadi wartawan yang bisa berkeliling menikmati indahnya ciptaan Tuhan.
“Dulu katanya mau jadi wartawan, jadi penulis, bikin buku. Kalau cuman mau bikin buku kan bisa kerja di pabrik pengolah buku, kayak anakku”, majelis ngerumpi belum berhenti.
Dasar ibu-ibu, tiap hari bisanya cuma begitu. Mereka tak tahu betapa tersiksanya diriku yang selalu menjerit-jerit di dalam kalbu.
***
“Upluk... upluk... upluk...”, air mendidih itu tinggal seperempatnya.
“Ih, ngapain sih ngomongin tuh anak, percuma, gak bakal mau berubah”, majelis ngerumpi berakhir.
Aku telah berjanji menemani dan merawat bapakku yang mulai sakit-sakitan. Aku ingin seperti seseorang di jaman Nabi Sulaiman as yang dapat hidup bukan di darat maupun di laut dengan nikmat yang amat sangat banyaknya hanya karena merawat ibunya yang sudah tua renta. Aku tak perlu bekerja jika itu membuat bapakku menderita. Sudah cukup derita bapakku saat kehilangan emakku.
***
“Upluk... upluk... upluk...”, air mendidih itu hampir habis.
Aku masih di sini dan tak akan pergi. Aku takkan pernah ke sana dan meninggalkan bapak tercinta.

Istana Ar-Roudloh, 26 Juli 2011
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
publisher: 7 templates