You are here: Home > > Ujian

Ujian

“Aaaaa…” pekikku. Mimpi itu datang lagi untuk yang ketiga kalinya. Pesawat yang ku tumpangi kehilangan kendali hingga menerobos perbukitan entah dimana. Dua sahabatku, gus Ihya’ dan gus Fadhil berlumuran darah ‘yang tampak’ sedang meregang nyawa. Aku sendiri terjepit diantara reruntuhan atap pesawat di malam yang gelap pekat ditambah hujan yang amat deras. Tak ada suara minta pertolongan. Entah seluruh penumpang sudah tewas atau belum, aku tak tahu. Mataku masih menatap 2 sosok sahabatku yang ‘mungkin’ sudah tak bernyawa. Tak ada tanda-tanda datangnya bantuan. Akupun hampir lupa kalau masih punya Allah yang senantiasa menolong hambanya yang beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Dengan sisa-sisa kesadaranku kucoba untuk memanjatkan do’a sebisaku.
***
Namaku Fathoni. Begitulah orang tuaku memberinya. Singkat, padat, dan mudah diingat. Aku hanyalah pemuda desa atau kalau kata teman-temanku aku itu ‘wong gunung’. Pekerjaan orang tuaku sebagai petani. Aku anak ketiga dari 6 bersaudara. Kakakku yang paling besar sudah menikah. Yang kedua, perempuan, sekarang masih kuliah di Surabaya. Sedangkan aku sudah lulus MA beberapa bulan yang lalu. Saat ini aku masih dalam proses pengurusan beasiswa kuliah di Australia bersama gus Ihya’ dan gus Fadhil. Berbeda denganku, gus Ihya’ dan gus Fadhil adalah gawagis (istilah untuk gus-gus bagi orang Jogja.red). Mereka adalah saudara sepupu. Merekalah sahabatku yang sering menemani keseharianku. Belajar, jalan-jalan, dan yang paling penting adalah makan bertiga di kantin.
“Assalamu’alaikum…” sebuah suara tertuju padaku. “Wa’alaikumussalam, masya’ allah, sampeyan to gus, ketemu lagi nich,” ucapku. Pagi itu aku berniat untuk berziarah ke makam Sunan Kalijaga. Tak kusangka aku akan bertemu dengan kedua sahabatku ini saat memarkir motor.
“Badhe ziarah, gus?” tanyaku. “Ora, arep cuci mata. Yo ziarah lah, piye to sampeyan iki,” balas gus Fadhil penuh canda. Kamipun tertawa. “Monggo, ziarah bareng, jama’ah gitu,” ajakku. Akhirnya kami bertiga ziarah bersama.
***
Seusai ziarah, kamipun segera pulang ke Kudus. Cuaca hari ini amat buruk. Demak sejak tadi diguyur hujan cukup deras. Entah dengan Kudus. Langit sebelah timur terlihat amat gelap oleh mendung.
“Semoga ini semua adalah hujan rahmat, bukan sebaliknya,” bisikku dalam hati.
Tiba-tiba aku merasa ingin segera sampai rumah. Seluruh anggota keluargaku hari ini berkumpul untuk syukuran atas keberhasilanku mendapatkan beasiswa kuliah di Australia. Aku sudah lama rindu dengan kedua kakakku yang lama tak berkunjung ke rumah. Hari ini mereka akan datang, katanya sich sebelum dzuhur.
Pukul 14.00 WIB aku sudah memasuki wilayah Kudus. Sepanjang perjalanan pulang pikiranku terus saja melamun tentang keberangkatanku ke Australia satu minggu lagi. Cuaca sudah agak mendingan. Akupun berpisah dengan kedua sahabatku dan sesegera mungkin memacu motorku agar cepat-cepat sampai rumah.
***
Kugeletakkan motorku begitu saja. Aku terpaku tak percaya melihat keadaan di sekelilingku. “Astaghfirullahal’adzim,” bisikku. Dusunku yang begitu asri tanpa diduga-duga sudah berubah menjadi timbunan tanah. Tak kusangka hujan telah menjadikan desaku tertimbun longsor. Akupun langsung teringat keluargaku. Dimana mereka? Kucoba untuk mencari keberadaan mereka. Tapi apa daya, yang kutemukan hanyalah tanah, tanah, dan tanah. “Dimana keluargakuuu...?” akupun berteriak-teriak layaknya orang kesetanan.
Sesaat kemudian datanglah Tim SAR. Mereka menyisir seluruh timbunan tanah karena dimungkinkan banyak warga yang ikut tertimbun.
Hari mulai senja. Ditemukan + 70 korban tewas dan belasan korban kritis kekurangan oksigen. Penyisiran dihentikan. Esok hari mereka akan menyisir dusunku kembali.
Akupun mulai bingung dan sedih. Tak terasa air mataku sudah meleleh. Keluargaku belum ditemukan. Dari kejauhan terdengar adzan maghrib sudah berkumandang. Aku teringat gus Ihya’. Aku ingin ke rumahnya untuk meminta bantuan agar bisa bermalam di rumahnya selagi keluargaku belum ditemukan. Aku tak bisa bermalam di dusunku sendiri karena memang sudah berupa timbunan tanah dan tak berpenghuni. Kuhidupkan motorku. Di kegelapan malam aku segera meninggalkan dusunku untuk malam ini saja. Aku masih memikirkan keberadaan keluargaku. Tanpa sadar aku lupa membelok saat ada tikungan di depan. Aku terperosok ke jurang disambut oleh bebatuan dan pepohonan. Tubuhku terbentur batu besar dan terhenti disana.
“Tolong... tolong... tolong...” teriakanku mulai melemah.Tubuhku sudah tak berdaya. Tiba-tiba di sekitarku segalanya terasa gelap dan sunyi senyap.
***
Aku tak tahu sudah berapa lama aku pingsan. Ketika aku bangun aku sudah berpindah tempat. Sejuk, mungkin malah agak dingin. Ternyata aku sudah berada di Rumah Sakit. Disamping tempat tidurku berdiri gus Ihya’ dan gus Fadhil. Kedua mata mereka terlihat berkaca-kaca. Aku masih belum sadar betul. Kucoba untuk duduk tetapi ditahan oleh gus Fadhil. “Nggak usah duduk, badanmu masih lemah,” ujar gus Ihya’. “Aku ingin pulang, gus,” tuturku lemah. “Kamu nggak bisa pulang, dusunmu masih... ya tahulah kau,” kata gus Fadhil. “Bagaimana keadaan keluargaku?” tanyaku. Suasana terasa hening sejenak. “Keluargaku bagaimana?” tanyaku lagi. Gus Ihya’ dan gus Fadhil saling berpandangan. “Ehm, seluruh keluargamu sudah ditemukan. Tapi maaf, mereka sudah meninggal,” kata gus Fadhil dengan pandangan menunduk. “Benarkah?” tanyaku tak percaya. “Iya, kemarin mereka sudah ditemukan tak bernyawa,” jawab gus Ihya’. Akupun pingsan.
***
Setelah 3 hari dirawat, akhirnya aku dibawa pulang ke rumah gus Ihya’. Kali ini aku kembali dipusingkan dengan barang-barang dan berkas-berkas beasiswaku yang tertimbun longsor. “Sudahlah, untuk sementara waktu pakailah pakaianku,” tutur gus Ihya’. Gus Fadhilpun mengiyakan. “Bagaimana dengan berkas-berkasku?” tanyaku. “Nanti akan kucoba agar bisa diurus kembali. Abahku akan mengusahakannya,” jawab gus Fadhil. “Makasih gus, kalian sudah banyak membantuku,” ucapku.
Cukup dua hari berkas-berkasku sudah bisa berada di tanganku. Tinggal dua hari lagi aku berangkat ke Australia. Kedua sahabatku dengan amat baiknya telah membelikanku beberapa potong baju, celana, dan sarung. Akupun hanya bisa terharu oleh perlakuan mereka kepadaku. Sore hari sebelum keberangkatanku, kusempatkan untuk berziarah ke makam keluargaku di dekat dusunku. Disana aku tak bisa menahan keluarnya air mataku. Mereka telah meninggalkanku untuk selama-lamanya. Akupun akan meninggalkan mereka untuk beberapa tahun ke depan.
***
Bandara Soekarno-Hatta cukup ramai. Keberangkatanku dijadualkan pukul 20.00 WIB. Aku bersama gus Ihya’ dan gus Fadhil diantar oleh keluarga mereka. Air mataku kembali meleleh. Di saat keberangkatanku ke Australia tak ada keluargaku yang menemaniku. “Jangan bersedih, anggap saja kami semua ini keluargamu,” tutur ayah gus Fadhil. Mereka semuapun tersenyum padaku. Lagi-lagi aku tak bisa menahan keluarnya air mataku. Kali ini adalah air mata bahagia. “Terima kasih sudah begitu banyak membantu saya. Saya akan membalas semua kebaikan kalian dengan prestasi dan kesuksesan saya. Saya akan membuat keluarga saya bahagia melihat keadaan saya esok hari,” ucapku. Pesawat akan segera delay. Kami bertiga berpisah dengan keluarga disertai berbagai untaian do’a kesuksesan dari mereka.
Cuaca kelihatan mulai memburuk. Sudah setengah jam pesawat melayang di udara. Semuanya terlihat baik-baik saja. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya kupanjatkan do’a. Kedua temankupun begitu. Akhirnya akupun tertidur. Tidur yang amat nyenyak. Paling nyenyak dari yang nyenyak-nyenyak. Sampai-sampai instruksi pilot dan pramugari tak kuhiraukan. Tiba-tiba pesawat sudah mulai terombang-ambing kehilangan kendali. Akupun terbangun. “Aaa... aaa... aaa...” Hanya itulah yang dapat keluar dari mulut para penumpang. Aku mulai teringat mimpiku dahulu. Seperti inilah mimpi yang kualami. Dengan sekejap pesawat sudah menerobos perbukitan. Sangat mirip dengan mimpiku. Aku tertindih reruntuhan pesawat. Badanku berdarah terkena pecahan-pecahan kaca. Kulihat kedua sahabatku sudah terbujur kaku. “Gus Ihya’... Gus Fadhil... Gus Ihya’... Gus Fadhil...” Kucoba untuk memanggil mereka tetapi tak ada jawaban. Aku mulai melemah. Segalanya terlihat buram. Mataku tak dapat melihat dengan jelas. Akupun pingsan.
***
Evakuasi korban sudah dilakukan. Hanya aku yang masih hidup. Aku dibawa ke Rumah Sakit terdekat. Operasi langsung dilakukan. Setelah dua jam operasipun selesai. Operasi yang sukses. Akupun dipindah ke ruangan perawatan. Banyak sekali wartawan yang mewawancaraiku. Akupun bercerita mulai longsornya dusunku sampai kecelakaan pesawat itu. Waktu kian bergulir tetapi badanku bertambah lemah. Lagi-lagi aku harus masuk ruang ICU kembali. Kali ini cukup lama, hampir empat jam.
“Sorry, he is unsaved,” tutur seorang dokter kepada beberapa wartawan di depan ruang ICU.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Responses to “Ujian”:

Leave a comment

publisher: 7 templates